Rabu, 03 Juni 2009

PERKAWINAN


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan sudah ada di Indonesia sejak lama, bahkan sebelum Indonesia terjajah sudah ada perkawinan tetapi dahulu perkawinan tersebut hanyalah bersifat keagamaan dan kepercayaan belum ada dasar-dasar yuridisnya. Seiring berjalannya waktu, perkawinan lambat laun mulai dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dan sacral sehingga baik agama maupun pemerintah mulai mengaturnya. Dengan anggapan yang berubah ini maka mulailah adanya suatu peraturan yang mengatur sahnya perkawinan, hal ini tak lain disebabkan karena keinginan manusia untuk hidup kea rah yang lebih baik. Tujuan dari perkawinan juga mulai berubah dan tidak hanya sebatas untuk menghasilkan keturunan. Selain itu apa sebenarnya esensi dari perkawinan itu jika dilihat dari UU. Perkawinan maupun KUHPer.

Seperti yang telah kita ketahui Indonesia merupakan daerah jajahan belanda dan secara otomatis maka hukum yang berlaku di Indonesia merupakan turunan dari pemerintah belanda, ini sebagai akibat dari asas konkordansi. Permasalahannya sekarang adalah Indonesia yang telah merdeka tetap menggunakan BW yang merupakan turunan dari pemerintah belanda, hal ini disebabkan karena Indonesia sendiri belum mampu membuat hukum perdatanya sendiri. Sebagai gantinya maka Indonesia membuat UUP Tahun 1974, tetapi menurut undang-undang tersebut menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan dalam BW yang belum diatur dalam UU. Perkawinan tetap berlaku sehingga secara tidak langsung terjadi pluralisme hukum perkawinan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian perkawinan

2. Tujuan perkawinan

3. Pluralisme dalam UU. Perkawinan

4. Syarat-syarat, momentum, dan sahnya sebuah perkawinan

5. Larangan, pencegahan dan batalnya sebuah perkawinan

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian Perkawinan

2. Untuk mengenal tujuan dari diadakannya perkawinan

3. Untuk mengetahui bagaimana sebuah perkawinan dapat ­­sah

4. Untuk mengetahui bagaimana sebuah perkawinan batal

5. Untuk mengetahui sist. Hukum perkawinan di Indonesia karena pada dasarnya baik BW maupun UUP tetap berlaku


ISI

A. Pengertian Perkawinan

Ada berbagai definisi mengenai definisi perkawinan tersebut antara lain:

1. Menurut pasal 26 Burgelijk Wetboek

Ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang hanya memenadang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan. (Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, hal 23)

Menurut Vollmar, maksud dari ketentuan tersebut bahwa undang-undang hanya mengenal perkawinan dalam arti perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil. Sedangkan menurut Soetojo Prawirohamidjojo, bertitik tolak dari ketentuan pasal 26 BW, bahwa undang-undang tidak memandang penting adanya unsure-unsur keagamaan selama tidak diatur dalam hubungan hukum perdata. (Titik Triwulan Tutik, hk. Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 101)

2. Menurut Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit, dan Melis

Mengartikan bahwa perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanitayang diakui oleh Negara untuk hidup bersama /bersekutu yang kekal. (Titik Triwulan Tutik, hk. Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 101)

3. Menurut pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Salim, Pengantar hukum perdata tertulis, hal 61)

Dari pengertian tersebut maka perkawinan mempunyai dua aspek yaitu:

a. Aspek Formil (hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat ‘ikatan lahirbatin’, artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilaiikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan initi dari perkawinan itu.

b. Aspek social keagamaan, dengan disebutkannya ‘ membentuk keluarga’ dan berdasrkan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.

Disamping itu jika definisi perkawinan itu ditelaah maka terdapatlah lima unsur perkawinan di dalamnya yaitu:

a. Ikatan lahir batin

b. Antara seorang wanita dan seorang pria

c. Sebagai suami istri

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Titik Triwulan Tutik, hk. Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 103 )

4. Menurut Kaelany H.D

Perkawinan adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’ah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami istri. (Titik Triwulan Tutik, hk. Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 100)

5. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo

Menyatakan bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius. (Titik Triwulan Tutik, hk. Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 100)

6. Perkawinan menurut hukum perdata

Dalam hukum perdata barat tidak ditemukan pengertian dari perkawinan. Tetapi istilah perkawinan ini digunakan dalam dua arti yaitu:

a. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan ‘melangsungkan perkawinan’ (pasal 104 BW). Selain itu juga dalam arti ‘setelah perkawinan’ (pasal 209 sub 3 BW). Dengan demikian perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu.

b. Sebagai suatu ‘keadaan hukum’ yaitu keadaan bahwa sebagai seorang pria dan seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan. (Titik Triwulan Tutik, hk. Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 100)

B. Tujuan Perkawinan

Tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Suatu keluarga dikatakan bahaia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Ini berarti bahwa perkawinan itu:

1. Berlangsung seumur hidup

2. Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat danmerupakan jalan terakhir

3. Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri (Salim, Pengantar hukum perdata tertulis, hal 62)

Selain itu menurut Kaelany H.D terdapat hikmah dibalik pernikahan antara lain:

1. Hidup tenteram dan sejahtera

2. Menghindari perzinahan

3. Memiliki keturunan

4. Memelihara wanita yang bersifat lemah

5. Menciptakan persaudaraan baru

6. Berhubungan dengan kewarisan. (Titik Triwulan Tutik, hk. Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 110)

Lebih lanjut Abdul Rahman I.Doi mengemukakan manfaat dari perkawinan dalam Islam yaitu:

1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar

2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan

3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah

4. Menduduki fungsi social

5. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok

6. Merupakan perbuatan menuju ketakwaan

7. Merupakan suatu bentuk ibadah (Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 110)

C. Pluralisme dalam UU. Perkawinan

Di Indonesia pelaksanaan hukum perkawinan masih pluralistis. Artinya di Indonesia berlaku tiga macam sist. Hukum perkawinan, yaitu:

1. Hukum Perkawinan menurut hukum perdata barat BW diperuntukan bagi WNI keturunan asing atau yang beragam islam

2. Hukum perkawinan menurut hukum islam, diperuntukan bagi WNI keturunan atau pribumi yang beragam islam

3. Hukum perkawinan menurut bukum adat, diperuntukan bagi masyarakat pribumi yang masih memegang teguh hukum adat.

Sifat pluralistis dalam hukum perkawinan sudah terjadi sejak zaman hindia belanda. Berbagai peraturan perundang-undangan yang menunjukan sifat pluralistis tersebut, antara lain:

a. BW, Stb. 1847 Nomor 23, yang diperuntukan bagi golongan eropa atau yang dipersamakan dengan itu

b. Regeling Op De Gemengde Huwelijken, Stb. 1898 Nomor 158

c. Huwelijks Ordonnatie Christen Inlanders, Stb. 1933 Nomor 74 yang diperuntukan bagi Bumi Putra yang beragama Kristen di jawa, madura, minahasa dan ambonia yang sejak tahun 1975 dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, dll

Undang-undang perkawinan pada kenyataannya masih juga menampilkan pluralisme dalam hukum perkawinan sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 66. Pasal 2 melahirkan pluralisme sehubungan denhgan perbedaan agama, sedangkan pasal 66 melahirkan plurlisme karena UUP tidak secara tuntas mengatur materi hukum perkawinan. (Titik Triwulan Tutik, hk. Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 101)

D. Syarat-syarat dan momentum sahnya suatu perkawinan

Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat melangsungkan perkawinan. Namun yang dapat melangsungkan perkawinan adalah mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu menurut UU perkawinan. Syarat-syarat tersebut diatur dalam pasal 6 sampai pasal 7 UU Nomor 1 Tahun !974. Di dalam ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat ekstern dan syarat intern. Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern tersebut antara lain:

1. Ada persetujuan kedua belah pihak. Pasal 6 ayat 1 UUP

2. Ada izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun. Pasal 6 Ayat 2 UUP

3. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati

4. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin

5. Wanita yang kawin kedua kalinya harus melewati masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari. ( Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hal 62)

6. Dalam hal kedua orang tua meninggal/tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara/keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas. Pasal 6 ayat 4 UUP

7. Dalam hal salah satu dari kedua orang tua telah meninggalkan dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup/mampu menyatakan. Pasal 6 ayat 3

8. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan dalam pasal 6 ayat 2, 3, 4, ,maka pengadilan dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar alasan orang-orang tersebut. (Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 112)

Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat tersebut meliputi:

1. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk

2. Pengunguman yang ditandatangani oleh pegawai pencatat yang memuat antara lain:

Ø nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orangtua calon. Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu

Ø hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan. (Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hal 63)

Momentum suatu perkawinan yang sah adalah apabila:

1. Telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

2. Dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974

Tujuan diadakan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk menghindari konflik hukum antara hukum adat, hukum agama, dan hukum antar golongan. Sedangkan tujuan dari pencatatan perkawinan adalah:

1. Menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya

2. Sebagai alat bukti bagi anak-anaknya di kelak kemudian hari apabila timbul sengketa, baik di antara anak kandung maupun saudara tiri

3. Sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pegawai negri sipil. (Salim,Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hal 64)

Selain itu, suatu perkawinan yang dilangsungkan di luar negri adalah sah, apabila dilangsungkan menurut cara-cara yang berlaku di negri asing yang bersangkutan, asal saja tidak dilanggar larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertiban umum di negeri kita sendiri. Dalam satu tahun setelah mereka tiba di Indonesia, perkawinan harus didaftarkan dalam daftar Burgelijke Stand di tempat kediamannya. (Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Hal 27)

E. Larangan, pencegahan, dan batalnya sebuah perkawinan

Larangan Perkawinan

Larangan untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Psal 12 UU Nomor 1 Tahun 1974. Ada 8 larangan perkawinan antara pria dan wanita, yaitu:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri

4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seseorang suami beristri lebih dari seorang

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin

7. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain

8. Antara suami-istri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk yang kedua kalinya, mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dar yang bersangkutan tidak menentukan lain. (Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Hal 65)

Selain itu, suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan dilarang jika:

1. Ada hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas

2. Ada hubungan darah dalam garis keturunan menyamping

3. Ada hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri

4. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. (Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 112)

Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan diatur dalam ketentuan berikut ini yaitu:

1. Pasal 13 sampai dengan Pasal 21 UU Nomor 1 Tahun 1974

2. Pasal 59 sampai dengan Pasal 70 KUH Perdata

3. Pasal 37 PP Nomor 9 Tahun 1975

4. Pasal 70 sampai dengan pasal &6 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. (Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hal 68)

Pencegahan perkawinan merupakan upaya untuk merintangi/menghalangi suatu perkawinan antara calon psangan suami-istri yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Orang yang dapat melakukan pencegahan perkawinan adalah:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah.

2. Saudara

3. wali nikah

4. Pengampu

5. Pihak yang berkepentingan. Pasal 14 UUP. (Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Hal 68)

Selain itu, kepada beberapa orang oleh undang-undang diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stuiten) dilangsungkannya pernikahan yaitu:

1. Kepada suami atau isteri serta anak-anak dari suatu pihak yang hendak kawin

2. Kepada orang tua kedua belah pihak

3. Kepada Jaksa (officier van justitie)

(Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Hal25)

Berdasarkan Pasal 61 KUH Perdata, Bapak/Ibu diperbolehkan oleh UU untuk melakukan pencegahan perkawinan terhadap hal-hal berikut, yaitu :

1. anak mereka belum dewasa dan tidak mendapat izin terlebih dahulu dari orang tua mereka

2. Orang yang meskipun dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, tidak dapat izin kawin dari pengadilan

3. salah satu pihak sakit ingatan

4. salah satu pihak tidak memenuhi syarat untuk kawin

5. tidak ada pengunguman mengenai niat akan kawin

6. salah satu pihak ditaruh dalam pengampuan (curatele)

(Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hal 68)

Tatacara pencegahan perkawinan dikemukakan di bawah ini:

1. Orang yang berwenang untuk melakukan pencegahan itu harus mengajukan permohonan pencegahan perkawinan ke pengadilan di wilayah hukum tempat akan dilangsungkannya perkawinan. Pasal 17 UUP

2. Orang tersebut harus memberitahukan kepada pegawai pencatat nikah. Pgawai pencatat nikah inilah yang akan memberitahukan adanya permohonan pencegahan perkawinan tersebut.

3. Apabila hakim telah menerima permohonan itu maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pengadilan memutuskan permohonan pencegahan tsb. Putusan itu berisi menolak atau menerima permohonan pencegahan tsb.

4. Dengan adanay putusan itu maka pegawai pencatat nikah dapat melangsungkan perkawinan tsb. (Salim, Pengantar Hukum Perdata, Hal 69)

Pembatalan perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah suatu upaya untuk membatalkan perkawinan yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UUP). Perkawinan yang dapat dimntakan pembatalan kepada pengadilan adalah:

1. Perkawinan yang tidak dilangsungkan di muka pegawai pencatat

2. Wali nikah yang tidak sah atau tanpa dihadiri dua orang saksi

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

1. Para keluarga dalam gais keturunan lurus ke atas dari suami atau istri

2. Suami atau istri

3. Pejabat yang berwenang, seperti jaksa

4. Pejabat yang ditunjuk (Pasal 23 UUP)

5. Wali nikah

6. Penagampu

7. Pihak yang berkepentingan

Pembatalan perkawinan juga diatur dalam pasal 70 sampai dengan pasal 76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa pembatalan perkawinan dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1. Perkawinan batal

2. Perkawinan yang dapat dibatalkan

Perkawinan batal apabila:

1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai 4 orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i

2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’an, seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhkan 3 kali talak olehnya, kecuali jika bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain dan kemudian bercerai lagi.

3. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UUP yaitu:

- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun lurus ke atas

- berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara nenek berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri

- berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, bibi/paman susuan

- istri adalah saudara kandung atau sebagain bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu perkawinan yang telah berlangsung antara calon pasangan suami istri, namun salah satu pihak dapat meminta kepada pengadilan supaya perkawinan itu dibatalkan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan jika:

- Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama

- Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri orang lain yang mafqud

- Perempuan yang dikawini masih dalam iddah dari suami

- Perkawinan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 7 UUP

- Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak

- Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan

Disamping itu, seornag suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila :

1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman melanggar hukum

2. waktu melangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Apabila ancaman telah berhenti/pihak yang salah sangka tersebut menyadari keadaanya, dan dalam waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-istri, dan tidak menggunakan haknya untuk pembatalan perkawinan maka haknya gugur.

Meskipun pembatalan perkawinan itu pada asasnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada waktu perbuatan yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam hal suatu perkawinan dibatalkan, tidak boleh kita beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan, karena terlalu banyak kepentingan dari berbagai pihak harus dilindungi. Dari itu, dalam hal suatu perkawinan dibatalkan, undang-undang telah menetapkan sebagai berikut:

1. Jika sudah dilahirkan anak-anak dari perkawinan tersebut, anak-anak ii tetap mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah

2. Pihak yang berlaku jujur tetap memperoleh dari perkawinan itu hak-hak yang semesti didapatkannya sebagai suami atau istri dalam perkawinan yang dibatalkan itu.

3. Juga orang-orang pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan kerena pembatalan perkawinan itu.

Pada asasnya suatu perkawinan harus dibuktikan dengan surat perkawinan. Hanya, apabila daftar-daftar pencatatan sipil telah hilang, diserahkan kepada hakim untuk menerima pembuktian secara lain, asal saja menurut keadaan yang nampak keluar dua orang laki perempuan dapat dipandang sebagai suami isteri, atau menurut perkataan undang-undang: asal ada suatu “bezit van den huwelijken staat” (Subekti, Pokok-Pokok Hukum Pidana, hal 27)


Kesimpulan

Secara umum di Indonesia pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan UUP yang menjadi dasar Perkawinan di Indonesia.

Tujuan perkawinan itu pada intinya mengingikan adanya suatu rumah tangga yang bahagia baik lahir maupun bati. Hal ini tertuang dalam pengertian Perkawinan yang terdapat di dalam UUP itu sendiri.

Mengenai pluralisme hukum perkawinan di Indonesia disebabkan karena pemerintsah Indonesia belum mampu membuat KUHPer sendiri, sehingga harus tetap memakai BW yang merupakan turunan dari Belanda agar tidak terjadi kekosongan hukum. Tetapi sayangnya setelah Indonesia berhasil membuat UUP perkawinan, disana tidak dicantumkan pasal yang jelas mengenai hukum perkawinan yang harus berlaku. Hal ini tampak pada pasal 66 UUP yang menyatakan bahwa peraturan yang terdapat di dalam BW tetap berlaku semasih UU. Perkawinan tidak mengaturnya, padahal sebenarnya antara BW dan UUP menganut konsep yang berbeda. Bw hanya mengatur perkawinan hanya dari hubungan keperdataannya saja artinya perkawinan dianggap sah jika telah sesuai dengan undang-undang pasal…., tetapi UUP mengatur perkawinan berdasarkan agama sehingga ada beberapa peraturan yang tentuya tidak dapat diatur dalam UUP karena konsepnya berbeda. Sebut saja pernikahan berbeda agama, dalam BW tidak ada aturan yang menjelaskan mengenai perkawinan berbeda agama karena BW hanya berdasarkan pada konsep keperdataan, sedangkan dalam UUP hanya mengatur perkawinan dalam satu agama. Oleh karenanya secara otomatis peraturan perkawinan beda agama dalam BW akan tetap berlaku karena dalam UUP tidak mengaturnya, hal ini disebabkan karena dalam UUP tidak pernah mengenal adanya perkawinan beda agamanya

Seperti yang telah disebutkan pada pembahasan di atas, perkawinan sah hanya jika telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang. Tetapi pada pokoknya ada 3 unsur perkawinan dianggap sah yaitu:

1. Tanpa adanya paksaan dari pihak manpun

2. Pasangan tersebut telah melewati batas usia minimum yang ditentukan

3. Tidak adanya kerugian bagi pihak manapun atas perkawinan tersebut

Selain itu ada syarat intern dan ekstern sahnya suatu perkawinan yaitu:

Syarat-syarat intern tersebut antara lain:

1. Ada persetujuan kedua belah pihak. Pasal 6 ayat 1 UUP

2. Ada izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun. Pasal 6 Ayat 2 UUP

3. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati

4. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin

5. Wanita yang kawin kedua kalinya harus melewati masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari. ( Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hal 62)

6. Dalam hal kedua orang tua meninggal/tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara/keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas. Pasal 6 ayat 4 UUP

7. Dalam hal salah satu dari kedua orang tua telah meninggalkan dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup/mampu menyatakan. Pasal 6 ayat 3

8. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan dalam pasal 6 ayat 2, 3, 4, ,maka pengadilan dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar alasan orang-orang tersebut. (Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam sist. Hukum Nasional, hal 112)

Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat tersebut meliputi:

1. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk

2. Pengunguman yang ditandatangani oleh pegawai pencatat yang memuat antara lain:

Ø nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orangtua calon. Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu

Ø hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan. (Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, hal 63)

Sedangkan untuk batalnya perkawinan ini dapat dibagi dua macam yaitu perkawinan batal dan perkawinan yang dapat dibatalkan

Perkawinan batal apabila:

1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai 4 orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i

2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’an, seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhkan 3 kali talak olehnya, kecuali jika bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain dan kemudian bercerai lagi.

3. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UUP yaitu:

- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun lurus ke atas

- berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara nenek berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri

- berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, bibi/paman susuan

- istri adalah saudara kandung atau sebagain bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu perkawinan yang telah berlangsung antara calon pasangan suami istri, namun salah satu pihak dapat meminta kepada pengadilan supaya perkawinan itu dibatalkan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan jika:

- Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama

- Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri orang lain yang mafqud

- Perempuan yang dikawini masih dalam iddah dari suami

- Perkawinan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 7 UUP

- Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak

- Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan

Daftar Pustaka


Halim, Ridwan. 1982. Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Salim HS. 2008. Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika

Subekti, S.H, prof. 1980. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa

Titik Triwulan Tutik. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

www.wikipedia.com

1 komentar:

  1. Betway Casino - Mapyro
    Betway Casino is a casino in 영주 출장샵 Greater London, Greater London and is open daily 24 강원도 출장샵 hours. The 삼척 출장샵 casino 바카라 그림 is 김제 출장샵 open 24 hours a day, 7 days a week.

    BalasHapus